BATA - Serangkaian ledakan besar mengguncang sebuah pangkalan militer
di Kota Bata, Guinea Ekuatorial, pada Minggu (7/3) kemarin. Ledakan
ini menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai 500 lainnya.
Dikutip dari Antara, Presiden Teodoro Obiang Nguema menyatakan ledakan
itu merupakan akibat dari kelalaian penggunaan dinamit. Melalui
pernyataan yang disiarkan di televisi nasional, Obiang meminta
dukungan internasional dalam upaya pemulihan dari tragedi itu.
"Saya menyatakan dukungan saya kepada orang-orang yang terkena dampak," katanya.
Stasiun televisi TVGE memperlihatkan tim-tim di lapangan sedang
menarik orang-orang dari tumpukan puing. Beberapa orang diangkut dalam
keadaan terbungkus seprai. Seorang pejabat kesehatan sebelumnya
mengatakan kepada TVGE bahwa korban tewas berjumlah sedikitnya 20
orang.
Truk-truk yang dipenuhi korban selamat, termasuk anak-anak, melaju ke
sebuah rumah sakit setempat.
Di dalam rumah sakit, bangsal-bangsal penuh dengan orang-orang yang
cedera. Banyak di antaranya yang berlumuran darah. Beberapa orang
terbaring di lantai atau meja, menunggu untuk ditangani.
TVGE mengimbau masyarakat untuk mendonorkan darah. Saluran televisi
tersebut juga melaporkan bahwa rumah-rumah sakit di negara Afrika
Tengah itu sudah penuh.
Di daerah ledakan, atap besi rumah-rumah roboh dan teronggok di antara
puing-puing. Di sebagian besar rumah, hanya satu atau dua dinding yang
masih berdiri. Tak lama setelah rentetan ledakan muncul, orang-orang
berlarian ke segala arah –banyak di antaranya dalam keadaan bingung
dan sambil berteriak.
Ledakan ini terjadi ketika Guinea Ekuatorial, negara penghasil minyak,
belakangan ini didera guncangan ekonomi ganda. Guncangan tersebut
merupakan akibat dari pandemi virus corona serta penurunan harga
minyak mentah yang merupakan sektor yang menyumbang sekitar tiga
perempat pendapatan negara.
Negara bekas koloni Spanyol itu sudah dipimpin Obiang, pemimpin
terlama di Afrika, sejak 1979 –melalui kudeta militer berdarah. Kudeta
itu juga menggulingkan pamannya, yang kemudian dieksekusi.
Kalangan pengkritik menyoroti keadaan bahwa Obiang dan keluarganya
menikmati kekayaan mewah sementara mayoritas penduduk hidup dalam
kemiskinan.
"Kami dengan keprihatinan mengikuti perkembangan di Guinea Ekuatorial
pascaledakan di kota Bata," kata Menteri Luar Negeri Spanyol Arancha
Gonzalez Laya di Twitter.
Kedutaan Besar Spanyol di Malabo meminta para warga negara Spanyol
agar tinggal di rumah mereka.
di Kota Bata, Guinea Ekuatorial, pada Minggu (7/3) kemarin. Ledakan
ini menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai 500 lainnya.
Dikutip dari Antara, Presiden Teodoro Obiang Nguema menyatakan ledakan
itu merupakan akibat dari kelalaian penggunaan dinamit. Melalui
pernyataan yang disiarkan di televisi nasional, Obiang meminta
dukungan internasional dalam upaya pemulihan dari tragedi itu.
"Saya menyatakan dukungan saya kepada orang-orang yang terkena dampak," katanya.
Stasiun televisi TVGE memperlihatkan tim-tim di lapangan sedang
menarik orang-orang dari tumpukan puing. Beberapa orang diangkut dalam
keadaan terbungkus seprai. Seorang pejabat kesehatan sebelumnya
mengatakan kepada TVGE bahwa korban tewas berjumlah sedikitnya 20
orang.
Truk-truk yang dipenuhi korban selamat, termasuk anak-anak, melaju ke
sebuah rumah sakit setempat.
Di dalam rumah sakit, bangsal-bangsal penuh dengan orang-orang yang
cedera. Banyak di antaranya yang berlumuran darah. Beberapa orang
terbaring di lantai atau meja, menunggu untuk ditangani.
TVGE mengimbau masyarakat untuk mendonorkan darah. Saluran televisi
tersebut juga melaporkan bahwa rumah-rumah sakit di negara Afrika
Tengah itu sudah penuh.
Di daerah ledakan, atap besi rumah-rumah roboh dan teronggok di antara
puing-puing. Di sebagian besar rumah, hanya satu atau dua dinding yang
masih berdiri. Tak lama setelah rentetan ledakan muncul, orang-orang
berlarian ke segala arah –banyak di antaranya dalam keadaan bingung
dan sambil berteriak.
Ledakan ini terjadi ketika Guinea Ekuatorial, negara penghasil minyak,
belakangan ini didera guncangan ekonomi ganda. Guncangan tersebut
merupakan akibat dari pandemi virus corona serta penurunan harga
minyak mentah yang merupakan sektor yang menyumbang sekitar tiga
perempat pendapatan negara.
Negara bekas koloni Spanyol itu sudah dipimpin Obiang, pemimpin
terlama di Afrika, sejak 1979 –melalui kudeta militer berdarah. Kudeta
itu juga menggulingkan pamannya, yang kemudian dieksekusi.
Kalangan pengkritik menyoroti keadaan bahwa Obiang dan keluarganya
menikmati kekayaan mewah sementara mayoritas penduduk hidup dalam
kemiskinan.
"Kami dengan keprihatinan mengikuti perkembangan di Guinea Ekuatorial
pascaledakan di kota Bata," kata Menteri Luar Negeri Spanyol Arancha
Gonzalez Laya di Twitter.
Kedutaan Besar Spanyol di Malabo meminta para warga negara Spanyol
agar tinggal di rumah mereka.